Tahun 2022 segera berlalu, tahun yang sarat dengan cerita dan agenda telah kita lalui. Kini tahun 2023 telah datang menghampiri kita. Terlepas dari apakah kita merayakannya dengan semarak atau tidak saya meyakini setiap kita pasti berharap tahun ini menjadi tahun yang lebih baik dari tahun-tahun sebaliknya. Sebab demikianlah agama kita mengajari kita untuk menjadi pribadi yang selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Bergantinya tahun menjadi bukti bahwa frasa “menghabiskan waktu”
sangat tidak tepat. Alih-alih manusia menghabiskan waktu, yang terjadi justru
manusialah yang dihabisi oleh waktu. Waktu yang membuat Anda mau tiudak mau
harus menanggalkan jabatan Anda sebagai apapun itu, ekskutif, legislatif,
yudikatif, pegawai negeri, militer atau mandor sekalipun.
Perayaan tahun baru sendiri ditanggapi berbeda-beda oleh
masyarakat, ada yang setuju adapula yang menolak merayakan tahun baru. Yang
menarik justru di beberapa tempat pemerintah daerah memang sengaja mengadakan
perayaan tahun baru dengan kemasan yang berbeda-bda. Jika merayakan tahun baru
dengan pesta kembang api dan konser musik terlalu mainstream, beberapa
daerah justru merayakan tahun baru dengan zikir dan pengajian yang diisi oleh
da’i-da’i kondang yang berassal dari dalam maupun luar daerah.
Apa makna tahun
yang baru?
Apa makna tahun baru bagi Anda?, saya percaya bahwa makna tahun
baru sama jumlahnya dengan orang yang merayakan tahun baru itu sendiri. Ibarat
bahagia yang sangat subjektif, definisinya sejumlah orang yang merasakan
kebahagiaan itu sendiri.
Jika Anda adalah seorang calon kepala daerah yang pada Pilkada tahun
lalu gagal melenggang menjadi pemenang, barangkali
jarak spasial antara 2019-2022 adalah detik dan menit yang
bergerak lambat. Namun jika sebaliknya, Anda adalah orang yang justru terpilih
menjadi kepala daerah pada saat itu, barangkali setelah membaca tulisan ini Anda
baru menyadari bahwa sebentar lagi jabatan Anda akan usai. Dan itu berarti
bahwa Anda harus mulai bergerak kembali, memainkan kembali mesin politik Anda
untuk meraih simpati dan empati para konstituen yang beberapa tahun belakangan mungkin
Anda lupakan.
Jika Anda adalah mahasiswa semester akhir yang berniat segera
menuntaskan tugas akhir Anda sembari menahan kesal karena setiap hari
orang-orang di sekitar Anda selalu bertanya “kapan wisuda?” barangkali waktu
bagi Anda adalah semacam rumus-rumus kalkulus atau data statistik yang selalu
gagal Anda pecahkan. Barangkali Anda merasa waktu berjalan terlalu cepat ibarat
fans sepak bola yang menanti gol penyama kedudukan di masa-masa injury time, sebab setiap fans sejati
selalu paham bahwa kekalahan bukanlah tempat kembali yang baik.
Jika Anda adalah seorang bujang yang selalu takut menghadiri
kondangan, sebab sudah tak lagi memiliki jawaban atas pertanyaan yang paling
membosankan “kapan kawin”, maka ada baiknya resolusi tahun baru Anda adalah
berharap menemukan orang yang tepat di tahun ini yang bersedia menemani Anda
mengakhiri masa lajang Anda.
Barangkali setelah membaca tulisan ini Anda baru menyadari jika
usia Anda sudah tidak lagi muda. Anda
mengingat-ingat kembali kawan lama Anda yang saat ini tengah sibuk dengan
keluarga baru mereka, sementara Anda sendiri masih berkutat dengan aneka agenda
sambil menimbang-nimbang kecemasan yang telah lama Anda kumpulkan.
Resolusi
Barangkali tidak ada yang lebih berkesan dari setiap pergantian
tahun kecuali evaluasi dan resolusi. Anda mengingat-ingat kembali beberapa
target yang telah Anda canangkan selama satu tahun, ada beberapa di antaranya
yang berhasil Anda raih yang kemudian Anda sebut sebagai kesuksesan. Namun
tidak sedikit pula target yang sampai penguhujung tahun ini tidak juga
terselesaikan dan Anda akhirnya menyerah.
Jika kebanyakan dari target Anda terpeleset, maka 2023 adalah tahun yang penuh harapan, di dalamnya Anda berharap semua
yang gagal Anda raih di tahun lalu menjadikan Anda pribadi yang jauh lebih kuat
dari sebelumnya sembari membanding-bandingkan pencapaian Anda dengan
orang-orang di sekitar Anda.
Dalam siklus kehidupan manusia dan bagaimana ia memAndang dunia
terdapat dua narasi yang mewarnai hidup kita serta mempengaruhi cara kita memAndang
tahun yang baru. Pertama, ada orang yang menganggap tahun yang baru sebagai
momentum “menengok” ke belakang mengingat kemballi segala pencapaian hidup
selama satu tahun kalender. Tahun baru bagi orang macam ini menjadi momentum
yang tepat untuk mensyukuri semua yang telah ia raih.
Untuk mengidentifikasi orang dengan tipikal ini tengoklah teman Anda
yang sedikit-sedikit berbicara tentang kesuksesan mereka di masa lalu. “dulu
saya begini”, “dulu saya begitu”. Karakter ini juga begitu kentara jika Anda
memperhatikan orang-orang yang sudah lengser dari kekuasaannya, mereka yang
mengalami apa yang disebut Cak Nur sebagai post
power syndrom. Barangkali gejala ini juga yang melahirkan anekdot semacam
“piye kabare, isih penak jamanku to?”.
Kemudian yang kedua ada yang menganggap tahun baru adalah moment
beranjak ke kehidupan baru serta melupakan segala kepahitan masa lalu. Bagi
mereka yang berpAndangan linier semacam ini waktu tak ubahnya seperti mistar
yang dicacah-cacah ke dalam aneka target dan cita-cita. Pergantian tahun bagi
mereka adalah saat yang tepat untu beranjak menuju target-target selanjutnya.
Kedua cara pandang ini sama-sama kita butuhkan untuk memahami waktu
yang terus berjalan. Kita tidak cukup hanya menjadi karakter yang pertama sebab
kita akan terjebak pada nostalgia yang tidak berkesudahan. Masa lalu menjadi
rujukan utama untuk menilai masa sekarang dan akan datang. Sebaliknya jika kita
hanya menggunakan cara pAndang yang kedua, kita terjebak menjadi pribadi ambisius
yang mengukur kesuksesan dengan segala sesuatu yang baru. Sukses bagi mereka
berarti mobil baru, rumah baru, gelar akademik baru, jabatan baru, bahkan
mungkin pasangan hidup yang baru. Oleh kareena itu kedua perspektif ini perlu
kita gunakan untuk dapat melalui tahun yang baru dengan penuh gairah serta
selalu berkaca pada masa lalui meski tak selalu indah.